Monday, February 1, 2010

Ibuku dan Rp 20.000,-


Pagi itu, ibuku sedang duduk di dapur. Di depannya terdapat sebuah baskom ukuran sedang berisi 1,5 kg tauco buatan sendiri, plastik kecil-kecil ukuran sekitar 4x10cm, dan tali rafia yg sepanjang 20 cm yang sudah dibagi-bagi tipis.

Dengan sendok ia membagi dan memasukkan tauco buatannya ke dalam 50 buah plastik kecil untuk dititipkannya kepada seorang tukang sayur di dekat rumah.

Kutanya kepadanya: "Berapa hasil penjualan tauco ini?"
Jawabnya: "Dua puluh ribu."

DEG.

Dua-puluh-ribu.

Setara dengan makanku 1x di mall, atau di rumah makan dekat kantorku.
Setara dengan ongkosku 1x naik taksi pergi/pulang ke mall.

Untuk dua puluh ribu rupiah - yang biasanya bisa dengan enteng kukeluarkan dari kantong - ibuku memerlukan waktu beberapa hari. Dimulai dengan mengolah kacang kedele, mencincang, menjemur, memfermentasi, dan proses entah apa lagi yang tidak kuketahui untuk menjadi tauco, dilanjutkan dengan memberi campuran gula, dan membungkusnya ke dalam plastik kecil-kecil. Untuk dua puluh ribu rupiah. Yang bisa aku keluarkan untuk 1x makan. Atau naik taksi sekali jalan.

Sedih. Malu, sekaligus bangga.

Sepertinya, banyak sekali ironi dalam kehidupan yang kualami. Dan hari itu aku mengalami satu lagi contohnya, di rumahku sendiri. Aku yang memperlakukan uang dua puluh ribu sebagai nominal yang tidak terlalu besar, tertohok melihat perjuangan panjang ibuku untuk mendapatkannya. Tanpa mengeluh. Tetap sabar.

Dear Buddha, I'm so very proud to have her as my mom. Semoga semua perbuatan baiknya bisa membawanya kepada kehidupan yg lebih baik. Semoga kesabaran dan kekuatannya bisa membawanya kepada kebijaksanaan yang mendalam. Semoga kebaikan hatinya bisa meluaskan pandangannya. Semoga setiap kualitas baik yang ada pada dirinya semakin berkembang dan semoga segala kekurangan dan penghalangnya dapat dihancurkan. Semoga ia bisa selalu bertemu dengan ajaranMu, dan setiap kali semakin berkembang. Semoga ia kelak menjadi Buddha dan terbebas dari penderitaan.

0 comments: