Monday, February 8, 2010

Do We Really Need to Get Married?


Marriage is a social union or legal contract between individuals that creates kinship. It is an institution in which interpersonal relationships, usually intimate and sexual, are acknowledged in a variety of ways, depending on the culture or subculture in which it is found. Such a union may also be called matrimony, while the ceremony that marks its beginning is usually called a wedding and the marital structure created is known as wedlock.

People marry for many reasons, most often including one or more of the following: legal, social, emotional, economical, spiritual, and religious. These might include arranged marriages, family obligations, the legal establishment of a nuclear family unit, the legal protection of children and public declaration of love. [Wiki]

Dalam tatanan masyarakat dunia pada umumnya, dan masyarakat Indonesia pada khususnya, [dan para orangtua yg saya kenal, untuk lebih spesifik lagi] pria dan wanita dewasa lazimnya hidup menikah. Para orangtua kerapkali bertanya kepada anak-anaknya yang sudah menginjak usia 20an kapan mereka akan menikah. Menjelang usia 30an, frekuensi kicauan mereka akan semakin tinggi. Apalagi jika mencapai usia 40an. Apalagi jika anaknya itu adalah anak perempuan.

Banyak kawan saya yang sudah menikah. Banyak yang sedang mempersiapkan pernikahan. Banyak yang ingin menikah [tapi karena satu dan lain hal masih belum bisa menikah]. Dan ada pula yang tidak ingin menikah.

Saya sendiri? Wah, saya bukan orang yang anti-pernikahan, dan bukan pula orang yang mengharuskan semua orang menikah.
Bagi saya, menikah itu adalah pilihan. Setiap pilihan kan ada konsekuensinya masing-masing. Kalau mau menikah, ya silakan, tidak mau juga tidak apa-apa. Toh kembali lagi kepada masing-masing orang, apa alasan kita mau menikah/tidak menikah, bagaimana ekspektasi kita terhadap hidup kita, dan hidup seperti apa yang mau kita jalani.

Untuk memilih sesuatu, dibutuhkan pertimbangan yang matang. Untuk memilih menu sarapan saja harus dipikirkan baik-baik, apalagi keputusan yang mempengaruhi hidup kita dalam jangka panjang. Ya kan?
Soal menikah, saya juga belum berpengalaman, jadi apa yang saya bicarakan dalam tulisan ini berdasarkan pengamatan saja.

Apa sih tujuan orang menikah? Banyak. Ada yang ingin berbagi kebahagiaan dan kesusahan hidup dengan orang yang ia cintai. Ada yang ingin melanjutkan garis keturunan. Ada yang untuk menyenangkan hati orangtua. Ada yang supaya tidak dicap tak laku. Ada yang karena ingin punya anak, atau terpaksa, karena masih belum lazim untuk punya anak di luar institusi pernikahan. Ada juga yang menikah karena itu 'sudah selayaknya dan sepantasnya' bagi orang-orang seusianya.

Lalu, bagaimana kehidupan setelah menikah? Wah, karena saya belum menikah, jadi tidak bisa memberikan pendapat pribadi untuk pertanyaan ini. Beberapa kawan ada yang mengatakan bahwa menikah itu menyenangkan karena bisa punya seseorang untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan setiap saat, untuk berbagi pikiran dan hal-hal lainnya. Tapi, bukan berarti tidak ada masalah. Wong kepala cuma ada 1 saja kita bisa pusing, apalagi kalau kepalanya ada 2? Tiga, empat, dan seterusnya? Tinggal pintar-pintar mengakalinya, supaya kepentingan semua orang bisa terpenuhi dan tidak ada yang dirugikan. Nah, yang tidak kalah pentingnya lagi untuk dipertimbangkan adalah keberadaan anak. Kembali lagi pada pilihan masing-masing: apakah ingin punya anak atau tidak?

Lalu, salah satu hal yang menjadi pertimbangan orang-orang zaman sekarang untuk menikah/tidak menikah adalah materi. Apakah kita bisa menyediakan materi yang cukup untuk [pesta] pernikahan kita, dan kehidupan pernikahan kita atau tidak? Soal itu, menurut saya, solusinya cuma ada 1: yakin dan percayalah bahwa di mana ada kemauan, di situ kau bisa membuka jalan. Materi itu penting, tapi bukan segalanya. Kalau memang tidak punya duit banyak, kan ada cara yang namanya menabung, atau berhemat, atau kerja tambahan. Kalau memang tidak punya duit banyak, ya tidak perlulah membuat resepsi besar-besaran. Memangnya pernikahan cuma satu hari itu saja? Resepsi kan cuma 1 hari saja yang mengawali kehidupan selanjutnya. Bukankah kehidupan setelah resepsi itu yg perlu dikhawatirkan?

Wah, kalau bicara pernikahan, bisa ngalor-ngidul, panjang-lebar, luas dan mendalam nih.

Tapi, sekali lagi, intinya adalah kembali pada pribadi masing-masing yang akan menjalaninya. Jangan sampai keputusan sepenting ini dibuat oleh orang lain, karena yang akan menjalaninya adalah kita sendiri.

Jika memang kita yakin dengan alasan, arah, dan tujuan kita untuk menikah, serta sudah memahami dan menyanggupi segala konsekuensi yang akan dihadapi nantinya, ya silakan menikah. Kalau memang yakin dengan alasan, arah, dan tujuan kita untuk tidak menikah, serta sudah memahami dan menyanggupi segala konsekuensi yang akan dihadapi nantinya, ya silakan tidak menikah.

Lagipula, setiap hari ada kesulitannya masing-masing, janganlah merisaukan apa yang telah terjadi, ataupun apa yang belum terjadi. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mempersiapkan segalanya sebaik-baiknya. Keputusan ada di tangan kita!
[Foto ilustrasi dipinjam dari sini]

3 comments:

Anonymous said...

kayaknya cuma lo yg milih sarapan aja ribet :P heheheeee.... biasanya karena kesiangan ujung2nya malah gak sarapan :D

[eitna!] said...

hehehe, sekarang udah gak ribet lagi dong. gw stok susu ultra buat seminggu. hahaha...

Christine said...

terus encinya yang suru belanja...hahaha...