Monday, January 30, 2012

Ironi dalam sepotong kalimat

Hari ini saya entah mengapa merasa tersinggung dengan kalimat yang dituliskan oleh seseorang di milis yg saya ikuti. Kalimatnya: "Ironis sekali mengaku buddhis tapi tidak kenal biksu A".

Entah karena ada sepotong kebenaran di dalam kalimatnya, atau karena ada nada "discouragement" di dalamnya. Entah, mungkin juga karena kebijaksanaan saya kurang sehingga bisa terpancing oleh kalimat tsb.

Saya sendiri mengaku Buddhis selama bertahun-tahun tanpa pernah mengenal ajarannya. Saya sempat malu mengaku Buddhis dan mengikuti pelajaran agama lain yg diajarkan di sekolah. Ya, saya buddhis, tapi tidak memiliki akses kepada informasi dan ajaran Buddhis.

Saya tidak terlahir di keluarga yg religius. Orangtua saya, tidak pernah mengajak saya ke vihara. Mereka mengajarkan saya untuk bersembahyang kepada Dewi Kwan Im. Dulu, saya pikir itu cukup. Dewi Kwan Im yg saya kenal dengan "Emak Bayang" itu juga saya kenal sedikit lebih jauh dari film serial Kera Sakti. Saya pikir, memuja Dewi Kwan Im adalah Buddhisme. Sampai saat saya belajar di sekolah bahwa ada seseorang bernama Siddharta Gautama yang telah mengalami penerangan sempurna. Demikian sajalah pengetahuan umum saya, seorang Buddhis, selama 18 tahun hidup saya.

Ironis. Ya. Tapi, jika ketika usia saya 18 tahun dan seseorang mengucapkan kalimat: "Ironis sekali mengaku buddhis tapi tidak kenal biksu A", mungkin saya tidak akan pernah mau mengenal lebih dalam Buddhisme. Cukup sekian dan terima kasih. Saya tidak ingin mengenal Biksu A untuk mengesahkan ke"Buddhis"an saya, karena siapalah dia - Biksu A, tanpa bermaksud mengecilkan beliau - yang harus saya kenal itu? Sesakti apa sih sampai harus dikenal oleh semua org Buddhis?

Kalau saya, keinginan untuk mengenal seseorang itu akan bertambah jika mendengar cerita tentang karyanya, pengaruhnya terhadap orang banyak, dibandingkan dengan kalimat ironi penuh sindiran seperti di atas.

Bagi saya, kalimat tersebut termasuk kategori kasar dan menyinggung. Menurut saya, ada sekelumit arogansi di dalamnya.

Kalau saya, akan berusaha menghindari kalimat demikian, karena saya sendiri tidak menyukai "impact" kalimat tersebut terhadap pembaca. Saya sendiri saja merasa tersinggung, apalagi orang lain? Bagaimana kalau ada orang lain yg merasa tersinggung dan kehilangan minat untuk mempelajari Buddhisme lebih jauh? Bukankah seharusnya orang-orang yang memiliki pengetahuan itulah yang membaginya kepada mereka yang tidak tahu?

Mungkin cuma beda gaya komunikasi. Mungkin cuma saya yang sensi saja. Tapi mungkin juga ada orang lain yang sependapat dengan saya.

#just thinking

0 comments: